Home »
Movie
»
Review Battle: Los Angeles. Kalau Mau Menjajah Bumi, Jangan Mendarat di LA
Review Battle: Los Angeles. Kalau Mau Menjajah Bumi, Jangan Mendarat di LA
Posted: Rabu, 13 April 2011 by Dany "Vyr03z" Firdaus in Label: Movie
0
Bumi didatangi makhluk luar angkasa. Kota-kota besar hancur-lebur. Manusia melawan balik dengan angkatan bersenjata. Sudah pernah lihat cerita ini bukan? Kalau dalam sebuah film perang, pernah juga?
Alkisah, Bumi diserbu kumpulan meteor yang membawa makhluk asing. Mereka mendarat di banyak tempat, dan mulai melancarkan invasi.Untuk menangkal invasi di Los Angeles, US Air Force akan melakukan pemboman besar-besaran. Tapi masih terdapat beberapa warga sipil yang terjebak di kantor polisi — padahal seluruh kota sudah dievakuasi.
Keadaan genting itu membuat Sersan Nantz, seorang marinir yang hari itu sebenarnya baru mengundurkan diri, ditarik lagi untuk mendampingi komandan baru sebuah unit — untuk membebaskan warga sipil yang terjebak tadi.
Dibintangi Aaron Eckhart, Michelle Rodriguez dan NeYo, “Battle: Los Angeles” tidak bercerita tentang Amerika yang jadi penyelamat dunia, melainkan tentang sekelompok pasukan yang menjalankan misi mereka di tengah invasi makhluk asing.
100% Film Perang
Berbeda dengan “War of The Worlds”, “Independence Day” dan genre sejenisnya, “Battle: Los Angeles” tidak bermain di ranah drama maupun fiksi ilmiah. Walau punya karakter sentral Michael Nantz, film ini tetap bercerita perjalanan seluruh pasukan. Setiap orang masih punya cerita latar, namun tidak dalam sebab judul film ini bukan “Drama Los Angeles”.
Film ini membawa pendekatan baru untuk genre yang biasanya lebih dekat dengan fiksi ilmiah. Sepanjang cerita, kita hanya mengikuti para marinir dan tidak pernah berpindah ke plot lain, hingga penonton merasa benar-benar turut dalam pertempuran.
Dan banyak sekali pertempuran di film ini! Sejak awal, terdapat banyak klise film perang yang tampaknya sengaja dibuat di “Battle: Los Angeles”. Bagi penggemar film perang, klise ini justru membuat senyum sebab seolah menegaskan, inilah genre perang klasik yang Anda rindukan.
Di sisi penggambaran para makhluk asing, “Battle: Los Angeles” jauh dari klise. Para penjajah Bumi bukan jenis monster super macam “Alien” atau pemburu mahacanggih ala “Predator”. Mereka digambarkan sebagai tentara. Kita hanya akan mengetahui tentang makhluk ini sebatas pandangan dan pemahaman para marinir — tak kurang dan tak lebih.
Penggemar fiksi ilmiah mungkin akan kecewa, tapi penggemar film perang rasanya akan menikmati serunya “Battle: Los Angeles”.
Namun Juga…
“Battle: Los Angeles” hanya sedikit memberi ruang bernapas karena sebagian besar adegan adalah pertempuran yang intens. Ini sebenarnya bagus, tetapi sebagian orang mungkin akan merasa jalannya plot agak mengulang-ulang (repetitif) sementara durasi film cukup panjang.
Penonton yang rewel terhadap cerita latar bisa jadi tak akan betah menonton film ini. Begitu juga mereka yang butuh penjelasan lengkap dan logis bagi semua aspek cerita. Sebab film ini tak mau ambil pusing soal hal itu — meski pada suatu titik ada juga bagian cerita yang terasa dipaksakan demi menambal lubang logika.
Film ini terasa nanggung sebab sebagai sebuah film perang yang cukup intens dan penuh laga, ia termasuk film yang bersih dari darah dan bahasa kasar tentara. Kenapa tidak sekalian sekeras Blackhawk Down atau setajam Saving Private Ryan?
Saya menduga pihak studio tidak ingin “Battle: Los Angeles” mendapat rating dewasa, supaya tetap bisa dijual ke penonton yang berusia belia. Pada akhirnya, film ini tidak terlalu terasa sebagai propaganda Amerika. Ia lebih cocok jadi film/iklan perekrutan marinir AS.
Kapan Masuk Indonesia?
Banyak komentar dan kritik terarah ke “Battle: Los Angeles” karena sepanjang film, isinya hanya berupa pertempuran yang terasa kalang-kabut dan berisik tanpa banyak cerita.
Penilaian itu ada benarnya, tetapi bukankah judul film ini sudah to-the-point: “Battle: Los Angeles”? Tentu saja isinya pertempuran yang terjadi di, euh, Los Angeles!
Namun demikian, film ini membuat saya meneteskan air mata haru di satu-dua adegan. Sejak “Blackhawk Down”, belum pernah ada lagi film perang modern yang besar dan “Battle: Los Angeles” mengobati kerinduan itu dengan unik.
Entah kapan “Battle: Los Angeles” masuk ke bioskop Indonesia (saat ini posternya sih sudah dipajang dengan tulisan “coming soon”). Saya sendiri berkesempatan menonton di bioskop negeri tetangga, tetapi berencana akan menonton lagi jika film ini masuk ke Indonesia.
Film ini punya pesan moral untuk makhluk luar angkasa: Kalau mau menjajah Bumi, jangan mendarat di Los Angeles. Oooraah!
————————
CATATAN: “Battle: Los Angeles” jauh lebih memukau di layar lebar, jadi membeli DVD bajakannya hanya akan membuat Anda rugi — selain melanggar hukum.
Alkisah, Bumi diserbu kumpulan meteor yang membawa makhluk asing. Mereka mendarat di banyak tempat, dan mulai melancarkan invasi.Untuk menangkal invasi di Los Angeles, US Air Force akan melakukan pemboman besar-besaran. Tapi masih terdapat beberapa warga sipil yang terjebak di kantor polisi — padahal seluruh kota sudah dievakuasi.
Keadaan genting itu membuat Sersan Nantz, seorang marinir yang hari itu sebenarnya baru mengundurkan diri, ditarik lagi untuk mendampingi komandan baru sebuah unit — untuk membebaskan warga sipil yang terjebak tadi.
Dibintangi Aaron Eckhart, Michelle Rodriguez dan NeYo, “Battle: Los Angeles” tidak bercerita tentang Amerika yang jadi penyelamat dunia, melainkan tentang sekelompok pasukan yang menjalankan misi mereka di tengah invasi makhluk asing.
100% Film Perang
Berbeda dengan “War of The Worlds”, “Independence Day” dan genre sejenisnya, “Battle: Los Angeles” tidak bermain di ranah drama maupun fiksi ilmiah. Walau punya karakter sentral Michael Nantz, film ini tetap bercerita perjalanan seluruh pasukan. Setiap orang masih punya cerita latar, namun tidak dalam sebab judul film ini bukan “Drama Los Angeles”.
Film ini membawa pendekatan baru untuk genre yang biasanya lebih dekat dengan fiksi ilmiah. Sepanjang cerita, kita hanya mengikuti para marinir dan tidak pernah berpindah ke plot lain, hingga penonton merasa benar-benar turut dalam pertempuran.
“
Ia termasuk film yang bersih dari darah dan bahasa kasar tentara.”
Dan banyak sekali pertempuran di film ini! Sejak awal, terdapat banyak klise film perang yang tampaknya sengaja dibuat di “Battle: Los Angeles”. Bagi penggemar film perang, klise ini justru membuat senyum sebab seolah menegaskan, inilah genre perang klasik yang Anda rindukan.
Di sisi penggambaran para makhluk asing, “Battle: Los Angeles” jauh dari klise. Para penjajah Bumi bukan jenis monster super macam “Alien” atau pemburu mahacanggih ala “Predator”. Mereka digambarkan sebagai tentara. Kita hanya akan mengetahui tentang makhluk ini sebatas pandangan dan pemahaman para marinir — tak kurang dan tak lebih.
Penggemar fiksi ilmiah mungkin akan kecewa, tapi penggemar film perang rasanya akan menikmati serunya “Battle: Los Angeles”.
Namun Juga…
“Battle: Los Angeles” hanya sedikit memberi ruang bernapas karena sebagian besar adegan adalah pertempuran yang intens. Ini sebenarnya bagus, tetapi sebagian orang mungkin akan merasa jalannya plot agak mengulang-ulang (repetitif) sementara durasi film cukup panjang.
Penonton yang rewel terhadap cerita latar bisa jadi tak akan betah menonton film ini. Begitu juga mereka yang butuh penjelasan lengkap dan logis bagi semua aspek cerita. Sebab film ini tak mau ambil pusing soal hal itu — meski pada suatu titik ada juga bagian cerita yang terasa dipaksakan demi menambal lubang logika.
Film ini terasa nanggung sebab sebagai sebuah film perang yang cukup intens dan penuh laga, ia termasuk film yang bersih dari darah dan bahasa kasar tentara. Kenapa tidak sekalian sekeras Blackhawk Down atau setajam Saving Private Ryan?
Saya menduga pihak studio tidak ingin “Battle: Los Angeles” mendapat rating dewasa, supaya tetap bisa dijual ke penonton yang berusia belia. Pada akhirnya, film ini tidak terlalu terasa sebagai propaganda Amerika. Ia lebih cocok jadi film/iklan perekrutan marinir AS.
Kapan Masuk Indonesia?
Banyak komentar dan kritik terarah ke “Battle: Los Angeles” karena sepanjang film, isinya hanya berupa pertempuran yang terasa kalang-kabut dan berisik tanpa banyak cerita.
Penilaian itu ada benarnya, tetapi bukankah judul film ini sudah to-the-point: “Battle: Los Angeles”? Tentu saja isinya pertempuran yang terjadi di, euh, Los Angeles!
Namun demikian, film ini membuat saya meneteskan air mata haru di satu-dua adegan. Sejak “Blackhawk Down”, belum pernah ada lagi film perang modern yang besar dan “Battle: Los Angeles” mengobati kerinduan itu dengan unik.
Entah kapan “Battle: Los Angeles” masuk ke bioskop Indonesia (saat ini posternya sih sudah dipajang dengan tulisan “coming soon”). Saya sendiri berkesempatan menonton di bioskop negeri tetangga, tetapi berencana akan menonton lagi jika film ini masuk ke Indonesia.
Film ini punya pesan moral untuk makhluk luar angkasa: Kalau mau menjajah Bumi, jangan mendarat di Los Angeles. Oooraah!
————————
CATATAN: “Battle: Los Angeles” jauh lebih memukau di layar lebar, jadi membeli DVD bajakannya hanya akan membuat Anda rugi — selain melanggar hukum.
Sumber berita: http://id.omg.yahoo.com/blogs/kalau-mau-menjajah-bumi-jangan-mendarat-di-la-raya_fahreza-5.html